Mawar Putih di Batu Candi : Cerita Pendek

Mawar Putih di Batu Candi

Mawar Putih di Batu Candi : Cerita Pendek

VIPDOMINOONLOUNGEPOKER ONLINE TUBUHMU menyimpan jutaan buluh rindu kepada seseorang dari masa lalu. Kau berjalan ke arah deretan kursi berwarna hijau daun. Persis di pojokan sebuah kantin. Lalu engkau menuju wastafel dan mencuci tangan, menghidu sebentar dan mengelap hidung dengan selembar tisu. Udara sangat panas seakan derai hujan segera datang. Beberapa jenak dalam puluhan ketikan huruf pada layar ponsel, sajian diantar oleh pelayan berseragam oranye seperti warna-warna kota tua yang lelah mengejawantah.

“Minggu depan, Runa. Di saat mawar putih sedang bersemi di desa ini. Kau ke sinilah. Supaya aku tak mengenal kata lelah,”pesan seseorang yang datang dari masa lalu. Kau baca sekilas, sebelum aroma rempah yang menguar pada semangkuk sup yang engkau pesan menggoda selera makan.

Kau tak mengobral janji untuk datang. Namun lipatan-lipatan baju yang kausisipkan dalam sebuah laci meja kerja menjadi saksi betapa engkau telah siap dengan keberangkatan. Tentu esok siang akan berbeda dengan hari ini dan kemarin. Tak ada lagi langkah berat perempuan bersepatu wedges, suka memakai rompi dan hiasan pita rambut pada gelung seperti princess dalam cerita-cerita dongeng klasik. Setidaknya, cuti tahunan pada sebuah kantor bank tempatmu bekerja akan kauambil minggu depan.

Angin bulan November telah mengantar kepergianmu pada sebangun rumah di dusun lereng Gunung Lawu. Hamparan perkebunan teh di sepanjang kiri dan kanan pemandangan tengah memikat rindumu. Matahari bersembunyi malu-malu di segulungan mendung berwarna abu-abu. Kalau saja tak ditemani oleh penunjuk arah dari ponsel yang kaugenggam, mustahil kau akan sampai di daerah yang kautuju, rumah Abi, sahabat masa lalu.

15 tahun lalu

Di usia menginjak lima belas tahun datang tetanggamu yang memorak-porandakan segenap perasaan. Engkau gadis yang beranjak remaja. “Namaku Abi. Aku dikirim oleh orang tuaku di sini untuk menjalani suatu hal,” tangan pucat Abi meremas jemarimu. Kalian saling bersitatap.

Baru di kemudian hari, kau tahu bahwa tetangga barumu tersebut tengah menjalani pengobatan atas penyakit kanker otak yang diderita. Usia kalian terpaut setahun. Kalian bahkan sering dikira adik-kakak oleh para pengunjung taman wisata candi yang terletak tak jauh dari kalian tinggal. Kau dan laki-laki berparas ksatria itu sering duduk di sebuah batu candi dan menghadap ke barat, menunggu matahari tenggelam.

Mawar Putih di Batu Candi : Cerita Pendek

Bunga-bunga mawar putih menjadi saksi di antara kebisuan kalian. “Kau tahu kenapa hanya tumbuh bunga mawar warna putih di taman candi ini?” tanyamu suatu ketika kepada laki-laki anak tunggal keluarga yang dipandang kaya di desa tersebut.

“Karena mawar putih melambangkan kesucian cinta. Aku ingin, kelak jika aku tiada, engkau datang ke makamku dengan tangkai bunga mawar putih itu,” suara laki-laki tersebut terdengar berat. Bibirnya setipis bibir Keanu Reeves dengan lengkung senyum yang menawan. Perawakannya yang sedang kini tengah dilanda kerapuhan. Tubuh itu sekarang tak lagi mampu menanggung rasa sakit. Sedikit demi sedikit pengobatan kemoterapi telah menggerogoti keku

“Kau tahu, Runa. Operasi kanker yang kujalani ada dua kemungkinan, berhasil atau aku akan mati. Jika berhasil pun tidak serta-merta membuatku bisa hidup seperti sedia kala,” ujarnya suatu ketika. Kau mendengarkan penuh dengan segenap harap. Di usiamu yang tengah meremaja, tunas-tunas rasa itu telah bertumbuh kemudian berbiak menunggu untuk disemai.

Tibalah di hari itu. Hari yang sama sekali tak diharapkan olehmu. Perpisahan dengan Abi, laki-laki yang telah meninggalkan bekas sembilu pada sayat-sayat luka karena rasa yang terpendam, tak terungkapkan. “Kau tahu, ayahku akan melakukan apa saja demi kesembuhanku. Pun ketika apa yang menjadi harapannya pupus, tatkala aku harus menjalani rangkaian pengobatan lagi. Runa, aku harus pergi. Papaku akan membawa kami ke luar negeri,” tutur Abi di tengah isak tangis yang kautahan.

“Kau, berjanjilah untuk pulang kemari. Kita berdua akan menikmati matahari tenggelam di sela-sela batu candi. Atau menunggu kemunculannya di tengah gigil dinginnya udara. Kau, berjanjilah pulang untukku. Kita akan menanam mawar-mawar putih yang tumbuh di candi, untuk rumah kita kelak,” katamu tak tertahan. Isak tangis itu pecah di tengah anggota dua keluarga yang telah siap mengucapkan salam perpisahan.

Dibaca Juga : Jangan Lakukan 5 Hal Ini saat Covid-19 Menyerang

Rintik hujan yang datang tak mengenal musim di desamu menjadi saksi saat mobil keluarga itu membawa pergi Abi. Ada rasa kehilangan yang tercerabut di dalam jiwa. Hari-harimu di kemudian penuh dengan pesan-pesan pendek, sebagai ungkapan kerinduan. Hingga tiba pada suatu masa, kau sama sekali tak mendengar kabarnya. Abi, laki-laki yang telah menjadi pengharapan hidupmu tak lagi bisa terhubung.

Kau sempat memendam rasa tak percaya. Butuh waktu bertahun-tahun untuk melupakan bayang Abi. Musim berganti musim. Bahkan ketika kau dan keluargamu tak lagi tinggal di desa, lalu memilih belantara Jakarta untuk mencari penghidupan baru, dari sekadar anak seorang pedagang cengkih. Apalagi ketika tak ada lagi nenek dan kakekmu yang butuh perawatan usia lanjut hingga akhirnya meninggal dan rumah tinggal dilego.

Banyak kenangan tersimpan dalam ingatan. Mawar-mawar putih di taman batu candi menjadi saksi bagaimana engkau dulu menghabiskan masa kecil dengan penuh kegembiraan.

Kini setelah waktu berjalan dan masa berlalu, tiba-tiba pesan yang datang ke ponsel telah membawa langkahmu meninggalkan Kota Jakarta yang membesarkan kariermu. “Serius kau mau ambil cuti seminggu di desa itu?” tanya sejawatmu. “Yakin dia akan berubah dan menyesali keputusannya, memintamu untuk menemuinya?” ujarnya lagi.

Tak kaugubris omongannya. Bukankah semua telah berubah. Termasuk perubahan prinsip hidupmu yang lebih memilih meninggalkan kata sendiri. Tiga tahun lalu, kauputuskan menerima pinangan laki-laki lain yang telah

Tak kaugubris omongannya. Bukankah semua telah berubah. Termasuk perubahan prinsip hidupmu yang lebih memilih meninggalkan kata sendiri. Tiga tahun lalu, kauputuskan menerima pinangan laki-laki lain yang telah menunggumu. “Aku masih merindukannya. Bahkan sampai hari ini. Brengsek, bukan?” Pertanyaan bernada retoris kepada temanmu diabaikannya.

Tibalah saat itu. Waktu yang mengantarkan kau datang dan mengetuk pintu. Kau berharap laki-laki itu, mungkin bersama istrinya, akan membukakan pintu dan menyambutmu. Tengah kaubayangkan teriakan ceria anak-anak mereka. Atau, sepasang orang tua yang telah pensiun dari profesi diplomat dan mengenalmu sangat dekat.

Dua batang cokelat yang kaubawa serta sebuah kado boneka tengah kaujinjing untuk anak-anak Abi. Manisan buah buatan Ibu juga tengah kausiapkan sebagai bingkisan. Beserta selarik ucapan rasa rindu dari sebuah keluarga yang pernah bertetangga. “Pastikan kau katakan kepada ibunda Abi, Ibu kangen kepada mereka,” pesan ibumu terus-menerus terngiang di telinga, seperti suara lebah madu yang hidup di pohon-pohon tinggi hutan tropis.

Kepada Abi, laki-laki teduh dengan kedung di dua kelopak mata dan pandangan pucat seperti awan. Aih, engkau telah memimpikan wajahnya semalam. Engkau bayangkan Abi yang sekarang adalah Abi berpipi gembil dengan bulu-bulu cambang yang liar, khas kebapakan. Dan rambut yang dia biarkan sedikit gondrong, karena dari mulutnya pernah terlontar jika dia sebenarnya ingin memanjangkan rambut jika ritual pengobatan kemoterapi selesai dilakukan. Tapi entah, hingga hitungan belasan kali malah, kemoterapi-kemoterapi itu telah melenyapkan nyaris semua rambut di kepala. Dan waktu itu kau melihat Abi lebih nyaman memakai kopiah dari bahan rajutan buah karya ibumu.

“Kau terlambat, Runa. Abi telah dimakamkan sore kemarin. Maafkan kami,” pelukan ibunda Abi nyaris membuatmu jatuh pingsan. “Maafkan kami pula, karena telah menjodohkan Abi dengan Katrin, sama-sama pasien kanker di rumah sakit, di mana mereka dulu tengah dirawat. Katrin lebih mendahuluinya pergi. Setahun lalu,” perempuan sepuh itu masih dengan kata-kata. “Abi ingin dimakamkan di sini, di desa ini. Karena di hari-hari terakhir yang diingatnya adalah engkau. Namamu selalu terucap.”

Hari itu pula, telah kauputuskan untuk mengunjungi makam Abi, dengan membawa setangkai mawar putih yang kaupetik dari taman batu candi. Kau bersimpuh sambil berdoa di tanah yang masih memerah. Beberapa jenak. Hingga usai dan melangkah gontai sampai kaubaca sebuah pesan pendek yang muncul di layar ponselmu. “Mommy kapan pulang? Aku kangen.”

Di layar tertulis nama suamimu.

Sumber Cerita : VipDomino

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *